Sejarah Bije Jari

Lombok adalah salah satu bagian dari Indonesia yang cukup berada di garis  miskin.  Sementara pariwisata sedang berkembang secara bertahap, kami yakin bahwa pariwisata yang bertanggung jawab adalah satu-satunya cara untuk melindungi pulau yang belum berkembang ini dengan cara yang dapat menguntungkan komunitas lokal. Cara untuk mengakhiri lingkaran kemiskinan tersebut, kami mendorong anak muda untuk bermimpi besar dan memberdayakan mereka dengan pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja. Kami sangat fokus pada anak muda yang termarjinalkan seperti kurang beruntung dalam Pendidikan, anak yatim, dan anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Ide awal didirikannya lembaga

Berbicara tentang ide awal didirikannya Yayasan, maka tidak bisa lepas dari perjalanan karir pendiri pasca studi sarjana dulu. Salah satu pengalaman kerja yang memberi bekal dalam mengelola Yayasan yang didirikan oleh pendiri hari ini adalah pengalamannya menjadi karyawan swasta di sebuah Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) milik orang Amerika (PT. CTI Group Worldwide Services, Inc) yang berlokasi di Jakarta Barat. Pengalaman kerja di tempat ini pada suatu ketika menemukan titik temu dengan idealisme pendiri yang melekat kuat semenjak menjadi mahasiswa. Idealisme yang dimaksud dalam hal ini ialah keinginan memberikan manfaat bagi sesama anak bangsa melalui pemberdayaan.

Ketika bekerja di perusahaan asing yang bergerak di bidang hospitality itu, pendiri lambat laun menyadari betapa besarnya peluang yang dimiliki oleh anak bangsa, andai mereka memiliki skill yang memadai. Lebih-lebih jika memandang geliat pariwisata yang begitu pesat di NTB sejak ditetapkannya Kuta Lombok Tengah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), lalu dibangunnya sirkuit Moto GP, semakin meneguhkan bahwa mempunyai skill (dalam bidang hospitality) adalah sebuah keniscayaan. Jika tidak, siap-siap menjadi penonton perayaan pesta kemenangan orang luar di tanah sendiri. 

Namun pendiri menyadari betul bahwa persoalan skill atau keterampilan ini bukanlah pangkal masalah sebenarnya. Pangkal masalah sebenarnya adalah keterbatasan akses guna menggapai pelatihan yang memadai dan terjangkau secara ekonomi. Maklum saja, pelatihan dalam bidang hospitality tergolong salah satu pelatihan lifeskill yang tidak murah. Hal ini justru menjadi realitas yang paradoks dengan kondisi masyarakat yang lebih banyak berada dalam garis kemiskinan.

Kondisi di atas tentunya tidak lahir begitu saja. Faktor-faktor yang tidak pernah selesai seperti masalah rendahnya kualitas pendidikan, pengangguran, dan masalah-masalah sosial lainnya turut memperparah keadaan. Tanpa bermaksud menihilkan peran pemerintah (biar bagaimanapun pemerintah tentu tidak berpangku tangan menghadapi masalah-masalah yang ada), pendiri merasa bahwa perlu kiranya setiap unsur untuk mengambil peran mengatasi masalah-masalah yang ada tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah mendirikan Yayasan pelatihan keterampilan yang mudah dijangkau oleh semua kalangan.

Artinya, pendiri meyakini betul bahwa Yayasan yang didirikan ini tidak boleh sekedar menjadi yayasan pelatihan biasa saja. Sebaliknya, yayasan ini haruslah dihajatkan menjadi rumah bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan Pendidikan karena keterbatasan biaya, rumah bagi mereka yang ditolak di kampus-kampus karena syarat masuk yang mengharuskan tamat SMA/SMK, bahkan rumah bagi mereka yang hanya pernah duduk di bangku SD. Tidak boleh lagi ada “anak tiri” di dalam sistem pendidikan kita. 

Motif

Yayasan Bije Jari berpijak diatas asas kepentingan sosial yaitu kemaslahatan masyarakat secara luas dengan konsep pemberdayaan. Sedangkan motive ekonomi Lembaga hanya dijalankan sebagai instrument membuat operasional Lembaga tetap eksis. Konsep ini juga banyak digunakan oleh para aktifis dewasa ini dengan istilah Sociopreneur. Sociopreneur mengandaikan motif pragmatis yang lebih etis dari konsep ekonomi liberal yang cenderung destruktif dan mengabaikan kepentingan sosial. 

Konsep ini juga menjadi sintesis atas kegalauan para aktifis tentang bagaimana menjalankan sebuah gerakan sosial yang terus hidup dan pada saat yang sama dapat memberikan jaminan hidup yang lebih layak untuk para pelakunya.

Lalu apakah gerakan yang dilakukan Lembaga Bije Jari ini dapat memberikan solusi terhadap masalah yang ada di masyarakat? Jawabannya adalah tentu. Sebab pertama adalah bahwa pariwisata NTB yang berkembang begitu pesat telah melahirkan masyarakat yang premature. Artinya, perkembangan pariwisata yang ada tidak berjalan lurus dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia  yang memadai. Sehingga job-job yang ada kemungkinan besar diisi oleh orang luar. Ambil contoh, event moto GP saja (yang akan digelar dalam satu tahun ke depan) membutuhkan ribuan tenaga professional. Padahal jika semua peserta didik yang ada di kampus-kampus jurusan pariwisata dan Lembaga pelatihan hospitality digabung, belum dapat memenuhi kebutuhan tenaga professional itu. 

Permasalahan kedua, ditengah-tengah kebutuhan tenaga professional itu, Propinsi NTB masih menjadi penyumbang TKI terbesar kedua secara nasional setelah Jawa Barat. Parahnya, Kabupaten Lombok Timur, dimana Yayasan Bije Jari berpusat, menjadi penyumbang terbanyak jumlah TKI di NTB. Ironis memang, namun kita tidak bisa terus berpangku tangan tanpa mengambil bagian dalam mengatasi masalah ini. Permasalahan ini juga menjadikan keberadaan Yayasan pelatihan yang terjangkau dan dapat diakses oleh semua kalangan menjadi niscaya. Disinilah kemudian Yayasan Bije Jari hadir dan menawarkan diri menjadi salah satu solusi atas permasalahan itu.

Tantangan

Kendala pertama dan menjadi kendala yang paling berat adalah melawan stereotype sebagian besar masyarakat (golongan tua) yang masih menganggap dunia pariwisata itu buruk dan kehidupan di sana tidak sesuai dengan norma yang ada, padahal tentu tidak demikian. Dunia pariwisata justru mengajarkan proffesionalitas yang tinggi yang menghargai setiap keyakinan dan prinsip hidup seseorang. 

Untuk meluruskan ini, kami melakukan Langkah kongkrit dengan menanamkan nilai proffesionalitas kepada setiap peserta didik kami, dimana bekerja di pariwisata tidak harus mengikuti gaya hidup orang luar, misalnya. Hal ini setidaknya sudah terbukti dari beberapa peserta didik kami yang telah mendapatkan pekerjaan tetap di beberapa hotel tanpa terbawa nilai dan gaya hidup tamunya yang cenderung berasal dari negara barat. Dengan demikian mereka dapat membuktikan bahwa 

stereotype masyarakat (setidaknya di lingkaran keluarga mereka) tidak benar adanya.

Selanjutnya, kendala kedua adalah keterbatasan kemampuan Yayasan dalam membeli alat-alat praktik perhotelan yang kontekstual, yang sesuai dengan kebutuhan tempat bekerja di kemudian hari. Untuk mengatasi masalah ini, kami bekerjasama dengan Villa-villa kecil sebagai tempat praktik peserta didik kami. Dengan begitu, mereka diharapkan terbiasa ketika nantinya mulai bekerja di hotel tempat mereka training dan atau bekerja.

Namun demikian, kami tidak menafikkan bahwa tidak selamanya Yayasan kami melakukan praktik dengan model Kerjasama, sebab tidak selamanya juga villa-villa yang ada terbuka diajak bekerjasama. Oleh sebab itu, lokasi dan infrastruktur Bije Jari tengah kami persiapkan agar bisa merepresentasikan hotel yang sesungguhnya dalam belajar perhotelan. Melalui kerja keras tim, lebih dari separuh media praktik sudah memenuhi standar dan sesuai dengan media yang akan digunakan kerja dikemudian hari.